Wanua Ujung – Kebijakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk memblokir rekening dormant, atau rekening yang dianggap tidak aktif selama tiga bulan, menuai protes keras dari masyarakat. Jutaan rekening sempat dibekukan, menimbulkan keresahan, bahkan trauma bagi para nasabah yang merasa tabungan mereka tak lagi aman.
Di Kabupaten Bone, misalnya, keresahan ini begitu terasa. Masyarakat yang biasanya tenang menabung kini dipenuhi rasa cemas.
“Kami menyimpan uang di bank dengan keyakinan bahwa dana tersebut aman dan tidak akan diakses sepihak,” kata Aldy, warga Kabupaten Bone. “Sekarang, kami merasa hak milik kami tidak dihormati. Kami khawatir ada penyalahgunaan wewenang. Bahkan, saya pribadi mulai ragu menyimpan uang di perbankan, baik swasta maupun negeri.”
Pernyataan Aldy mencerminkan suara banyak rakyat di pelosok desa maupun kota besar: kepercayaan mereka terhadap perbankan mulai goyah.
Kronologi Kebijakan PPATK
Kebijakan ini sebenarnya sudah diisyaratkan sejak Mei 2025, ketika PPATK mengumumkan rencana untuk menonaktifkan rekening yang tidak bertransaksi dalam kurun tiga bulan. Meski telah disosialisasikan, banyak masyarakat yang tidak menyadari seriusnya dampak aturan ini.
Pada awal Agustus 2025, kebijakan itu mulai diterapkan. Jutaan rekening di berbagai bank, baik negeri maupun swasta, mendadak diblokir. Tidak sedikit nasabah yang baru mengetahui rekeningnya dibekukan ketika hendak melakukan transaksi.
Keadaan ini memicu gelombang kepanikan. Banyak nasabah bergegas menarik uang mereka dari bank yang masih aktif. Fenomena ini disebut panic withdrawal dan berpotensi mengguncang stabilitas perbankan lokal.
Menanggapi kondisi tersebut, pada 5 Agustus 2025, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana akhirnya memberikan klarifikasi resmi. Ia menegaskan bahwa seluruh rekening yang sempat diblokir telah dibuka kembali. Namun, bagi sebagian masyarakat, trauma dan kekecewaan terlanjur tertanam.
Suara Masyarakat Dari Kekecewaan Hingga Trauma
Bagi masyarakat kecil, tabungan bukan sekadar angka di buku rekening, melainkan hasil kerja keras bertahun-tahun. Pemblokiran mendadak, meski hanya sementara, meninggalkan luka psikologis yang dalam.
“Bukankah pemerintah dulu menganjurkan kita untuk menabung di bank agar aman?” tanya Aldy dengan nada getir. “Tapi sekarang, justru kami tidak merasa aman. Rasanya seperti dipermainkan. Bikin gaduh dulu, baru dihentikan.”
Pernyataan ini menggambarkan keresahan yang meluas. Beberapa warga Bone bahkan mengaku lebih memilih menyimpan uang di rumah atau arisan keluarga daripada mempercayakannya pada bank.
Dampak Traumatik yang Terjadi
Kebijakan pemblokiran rekening dormant membawa dampak yang tidak kecil. Berikut beberapa poin yang kini dirasakan masyarakat:
1. Menurunnya Kepercayaan pada Perbankan
Rasa aman yang selama ini menjadi alasan utama menabung di bank terguncang. Banyak nasabah mulai berpikir ulang untuk menyimpan uang mereka di lembaga keuangan formal.
2. Panic Withdrawal
Dalam minggu pertama kebijakan diberlakukan, beberapa bank melaporkan lonjakan penarikan dana. Fenomena ini memperlihatkan betapa rentannya stabilitas keuangan ketika kepercayaan masyarakat terguncang.
3. Trauma Finansial
Nasabah, terutama dari kalangan menengah ke bawah, merasa trauma. Mereka khawatir suatu hari nanti rekening mereka bisa kembali diblokir tanpa pemberitahuan yang jelas.
4. Keraguan Terhadap Transparansi Pemerintah
Publik mulai bertanya-tanya: apakah ini bagian dari siklus kebijakan pemerintah belakangan, “buat gaduh dulu, baru dihentikan”? Pertanyaan ini menunjukkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap konsistensi regulasi.
Refleksi dari Polemik Rekening Dormant
Kejadian ini memberikan pelajaran penting: transparansi adalah kunci. Masyarakat berhak tahu detail kebijakan yang menyangkut dana mereka, termasuk syarat, mekanisme, dan alasan yang jelas.
Tanpa transparansi, kebijakan apa pun, meski niatnya baik, akan terasa sebagai ancaman. Kepercayaan masyarakat adalah modal utama perbankan. Jika kepercayaan itu hilang, bukan hanya nasabah yang rugi, tetapi juga stabilitas keuangan nasional.
Narasi Kronologi dan Dampak
Sejak Mei 2025, PPATK telah mengumumkan rencana pemblokiran rekening dormant. Namun, implementasi yang dimulai pada awal Agustus memicu keresahan besar. Jutaan rekening diblokir, masyarakat panik, dan banyak yang bergegas menarik dana mereka. Fenomena panic withdrawal tak terhindarkan, membuat suasana perbankan semakin tegang.
Pada 5 Agustus 2025, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana akhirnya mengumumkan bahwa seluruh rekening yang diblokir telah dibuka kembali. Namun, dampak traumatiknya sudah terasa. Masyarakat kehilangan rasa percaya, beberapa mengaku trauma, dan sebagian besar mempertanyakan transparansi kebijakan.
Masyarakat merasa seolah dipermainkan oleh pemerintah: membuat gaduh dulu, lalu mencabut kebijakan setelah keresahan meluas. Dampak nyata terlihat dari menurunnya kepercayaan pada bank, meningkatnya penarikan dana mendadak, dan bertambahnya keraguan terhadap kejujuran regulasi pemerintah.
![]() |
Ilustrasi: Kepala PPATK dengan latar grafik saham BRI dan BCA yang menurun. Foto ini bersifat ilustratif dan bukan dokumentasi kejadian aktual. |
Pentingnya Regulasi yang Humanis
Kebijakan publik yang menyangkut hak dasar masyarakat, seperti dana tabungan, tidak bisa diterapkan gegabah. Perlu ada kajian mendalam, sosialisasi masif, dan mekanisme yang menjamin tidak ada masyarakat yang dirugikan.
Kepercayaan masyarakat bukan sesuatu yang bisa dibangun dalam semalam, tetapi bisa runtuh hanya dalam hitungan jam.
PPATK dan pemerintah harus belajar dari kasus ini. Transparansi dan perlindungan hak nasabah harus menjadi prioritas, agar masyarakat kembali yakin bahwa bank adalah tempat yang benar-benar aman untuk menyimpan hasil jerih payah mereka.
Post a Comment (0)